Thursday, October 31, 2024

The subway theory

 Anak gue altair males sekolah,dia malas bangun pagi, dia males banget belajar, maunya main komputer.

Trus kemaren dia bilang, gue mau kerja ajah, di subway jadi tukang bikin sandwich..lol.

"It is easier, you just put stuff on the bread" katanya.

Gue pernah bilang bahwa dirumah ini cuma ada 2 macam orang, yang belajar sama yang cari duit or kerja.Gak boleh ada pemalas.

Dia pikir kerja jauh lebih mudah daripada belajar (jadi pelajar).

Argumen dia selalu "Kenapa gue kudu belajar ini semua kalau nanti kagak kepake ketika gue gede?" emaknya gelagapan kalau ditanyain kaya gitu, karena dia juga punya pemikiran yang sama.

Gue ? hohohoho, ntar dulu, sini gue ceramahin kenapa elo kudu bikin PR, belajar hal yang elo kagak pake, belajar untuk ulangan...

Didalam hidup yang akan elo lalui, manusia itu akan dipaksa untuk terus belajar/berkembang/berubah.Bahkan ujaran tidak ada yang kekal di dunia ini kecuali perubahan itu betul adanya.

Sekolah, walaupun keliatannya gitu-gitu ajah dan monoton, justru memiliki banyak kondisi yang menuntut perubahan dari anak-anak, kemaren matematika eh sekarang bahasa, tadi pagi sejarah sekarang biologi, minggu lalu lagi ngomongin sriwijaya eh minggu ini udah sampe majapahit.

Pelatihan yang didapat dari sekolah itu lebih kepada kebiasaan dalam menerima perubahan, kemampuan adaptasi, kemampuan belajar hal baru, kemampuan menghadapi tekanan (kalau lagi ujian), disiplin, belajar mendengarkan dan menyimak...Anak sekarang saking demen short video, span of concentration mereka sangat pendek, padahal di dunia nyata kalau mau sukses kita dituntut untuk punya konsentrasi yang cukup.

Pelatihan di sekolah adalah pelatihan yang membiasakan, pernah dengar ujaran "sukses, harus dipaksa".Itu benar di dalam kehidupan. Pernah lihat atlit olimpiade ? selama 4 tahun memaksa diri tiap hari untuk latihan, bangun pagi, makan teratur dan diatur untuk sebuah event yang belum tentu elo menang dapat medali emas.Sekolah ? terpaksa bangun pagi, terpaksa bikin PR, terpaksa belajar hal baru, terpaksa pake seragam (or not), terpaksa mematuhi aturan..semuanya serba terpaksa..."tapi aku gak merasa dipaksa", well good for you, kuncinya senanglah dengan kegiatan yang akan bikin elo sukses....dan lo and behold, kebahagiaan dan kesenangan adalah hal yang bisa elo atur sendiri.

Hidup ini kalau elo mau berhasil , ya harus di paksa, kalau elo gak paksa diri elo, orang lain atau keadaan yang akan memaksa elo, elo pikir elo seneng bekerja setiap hari ? pasti ada hari-hari elo gak pengen pergi kerja kan ? but you do it anyway...intinya hidup itu penuh dengan pemaksaan...wong gravitasi itu memaksa elo untuk tidak terlalu cepat berpindah dari satu titik ke titik yang lain.

Terlepas elo bakalan pakai rumus phytagoras dalam kehidupan sehari-hari elo atau kaga, belajar sesuatu yang baru is always a must,elo pacaran, belajar jadi pacar yang baik, elo pindah kerja,belajar lagi korporate traditionnya, SOPnya....elo punya usaha sendiri ho..ho...ho malah lebih parah, sekarang elo harus belajar semuanya dari hulu sampai hilir..."Tapi aku kan kaya , bisa hire orang untuk melakukan hal itu semua", yeah well, siap-siap di tipu....sama orang lain atau sama perasaan elo sendiri.Apalagi? menikah? belajar jadi suami (its never ending believe me),punya anak (really ?) dan ketika elo punya anak elo baru mengerti kenapa dulu elo harus sekolah.

"Yatapi, belajar kan gak harus sekolah" ya benar, bisa dimana saja, sebagai orang tua kalau elo sanggup menciptakan kondisi agar anak-anak elo bisa sustain belajar di rumah, ya silahkan ajah....wong pandemi kemaren membuktikan sebaliknya kok...banyak orang tua pengen anaknya gak dirumah dan sekolah cepet-cepet dibuka.

"Jadi mau bilang apa sama anak-anak yang gak mau sekolah?" the truth, it will set you free.

Bahwa sebagai orang tua yang nanti mati dan meninggalkan anaknya untuk hidup di dunia yang penuh paksaan ini, sekolah adalah kondisi yang baik (Bukan terbaik, karena pedagogi dasar dimulai dari orang tua/rumah) untuk mempersiapkan mereka menghadapi dunia itu.


Saturday, October 19, 2024

Tentang pemilihan OSIS

 Kemarin di mobil anak perempuanku menanyakan banyak hal tentang formulir yang sedang dia isi, formulir pendaftaran keanggotaan OSIS.

Salah satu pertanyaannya adalah "Apakah kelebihan kamu?" , dengan mudah (dan PD) dia menjawabnya.

Pertanyaan berikutnya "Apakah kekurangan kamu?", dia bingung jawabnya, beda dengan bapaknya dulu yang dididik dengan suasana negatif typical orang tua keturunan Tionghoa yang sangat kurang afeksi dalam mendidik anaknya. Selama aku hidup lebih dari 25 tahun dengan orang tuaku tidak pernah sekalipun orang tuaku, menepuk punggungku dan mengatakan "good job" atau "bagus" (Dalam arti yang baik)...kalau "Bagusss....baru dimandiin udah main kotor-kotor lagi" itu sering tuh.

Anak sekarang showered with praise, anak sekarang sedikit-sedikit "good job!", "Kamu pinter banget sih", "wah keren yah" dan lain-lain.

Mereka sekarang terlalu PD dan kurang bisa melakukan refleksi yang riil ke dalam dirinya sendiri.

Wong gak juara ajah dapet piala, gak menang ajah dapat medali, gak berprestasi dapat piagam.

Pertanyaan selanjutnya "Kenapa kamu mau jadi pengurus OSIS?"

Dengan sigap mamanya memberikan isi-isi (bukan kisi-kisi) untuk menjawab pertanyaan itu, pada saat itu juga aku menegur istriku "Gausah dikasih tau dia mau ngisi apa, biarkan dia berpikir sendiri". "Nanti kalau kita udah mati masak dia datang ke kuburan ketok-ketok batu nisan minta dibantuin isi formulir ?"

"What do you think about your kekurangan ce ?" itu kataku, "Lihat cara kamu memperlakukan adikmu dan temanmu"

"Oh, i do not tolerate idiot" 

"Ya itu kekurangan kamu, kamu sulit bertoleransi, kamu sulit menerima pendapat orang lain yang tidak sejalan dengan kamu....apa lagi ?"

Saya pun membiarkan dia berfikir dan termangu. Padahal dengan mudah kita bisa menjabarkan kesalahan atau kelemahan orang lain, tapi itu tidak saya lakukan kepadanya, karena saya ingin anak saya memiliki kemampuan untuk menganalisa dan memahami dirinya sendiri.

Kemampuan untuk melihat kedalam diri dan bertanya pertanyaan yang penting, merupakan bekal hidup manusia dewasa. Dunia ini sudah terlalu banyak sama orang yang merasa berhak atas semuanya, padahal dunia tidak pernah berhutang apa-apa kepada mereka.

Kawinan, nutup jalan umum, ibadah nutup jalan umum (padahal ajarannya menyuruh menjadi berguna bagi orang banyak- bukan nyusahin orang banyak) , minta tolong tapi marah-marah, berhutang tapi galak....entitlement is a disease.Kalau ada orang yang kamu sayangi mau mati dan butuh secepatnya di tolong, baru kamu ngerti bahwa nutup jalan umum itu merupakan tindakan yang egois.

Hal-hal seperti ini harus diajarkan kepada anak kita, bukan semata-mata memecahkan soal matematika...yang sekarang pun mereka gak gitu bisa ...even perkalian.


Monday, October 14, 2024

Pendidikan dan Kurikulum..oh bakalan ada menteri baru

 



Gue ngenes sih nonton video ini, tapi di lapangan pun gue mendapatkan hal yang sama dan relate banget sama isi video ini.

Sistem pendidikan biasanya ditentukan oleh pemerintah untuk mendukung ekonomi growth di negara itu.
Contoh, di Eropa pada zaman industri, maka sistem pendidikan didesain agar murid2 yang lulus bisa bekerja di Industri dan menopang ekonomi negara tersebut.
Era Industri Indonesia itu belum matang, malah cenderung kena skip...lihat ajah berapa banyak industri tutup dan cabut dari Indonesia...karena setiap ganti pemerintah ganti kurikulum...otomatis pendidikannya gak konsisten dan gak sustainable.....egh....tiba2 nyobain (Iya nyobain, bentar lagi juga ganti lagi) kurikulum Finlandia....
Again, gak semua....iya ngerti....tapi kudu berapa banyak ? sampai timbul kesadaran bahwa ada yang salah.
Stunting dan kemampuan orang tua dalam mendidik (kemampuan membesarkan dulu deh...) juga memperburuk kualitas sumber daya manusia dimasa yang akan datang.
Butuh kesadaran kita semua sih buat mentarget titik titik penting dalam mengurai masalah pendidikan di Indonesia.

Omelan ini tidak memberikan solusi apa-apa,,, semoga pak Abdul Mu'ti bisa memberikan solusinya.